Al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Makna Salaf
Kata ‘salaf’ ( سلف ) sesungguhnya adalah lafadz Qur’ani dan lafadz nabawi, bukan lafadz baru yang muncul di era belakangan.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Maka kami jadikan mereka sebagai salaf dan contoh bagi orang-orang yang kemudian.” (az-Zukhruf: 56)
Maksudnya, sebagai salaf (pendahulu) untuk dijadikan pelajaran bagi orang-orang yang datang setelah mereka.
Al-Imam al-Bukhari (no. 6285—6286) dan Muslim (2450/98) rahimahumallah meriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Fathimah radhiallahu ‘anha berkata bahwa ketika memberitakan tentang ajalnya yang sudah dekat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati putrinya,
فَاتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِي فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Maka bertakwalah engkau kepada Allah ‘azza wa jalla dan bersabarlah sesungguhnya sebaik-baik ‘salaf’ bagimu adalah aku.”
An-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim menjelaskan, “Salaf adalah yang mendahului. Makna (hadits) ini adalah aku mendahului di depanmu, nanti engkau akan menyusulku.”
Kata ‘salaf’ secara bahasa berarti berlalu/terdahulu. (al-Mishbahul Munir hlm. 285) Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab (6/330) menjelaskan, “Kata السلف والسليف والسلفة adalah sekelompok orang yang mendahului.”
Salaf bisa juga diartikan orang yang mati mendahului orang lain, baik orang tua, nenek moyangnya, maupun kerabatnya. (an-Nihayah fi Gharibil Hadits 2/390)
Adapun ‘salaf’ menurut istilah syariat memiliki dua makna dari sudut pandang yang berbeda, namun kembali kepada satu pengertian.
Makna ‘salaf’ secara waktu.
Mereka adalah generasi terdahulu umat ini. Yang dimaksud adalah generasi para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, tiga generasi pertama umat ini yang tersebut dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian yang setelah mereka, kemudian yang setelah mereka.” (HR. al-Bukhari no. 2651 dan Muslim no. 2535 dari Imran bin Husain radhiallahu ‘anhu)[1]
Makna ‘salaf’ secara manhaj/metodologi.
Dalam Fatawa Lajnah Daimah (2/240) pertanyaan ke-2 dari fatwa no. 6149 disebutkan bahwa salaf adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari kalangan sahabat dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka hingga hari kiamat….
Jadi, makna ‘salaf’ secara metodologi tidak terbatas waktu pada tiga generasi pertama umat ini, tetapi masuk di dalamnya siapa saja yang meniti manhaj dan jejak langkah para sahabat dari masa ke masa hingga akhir masa dan dari generasi ke generasi hingga akhir generasi.
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitabnya Hukmul Intima Ilal Firaq (hlm. 46—47) menjelaskan, ‘Apabila lafadz ini (salaf) disebutkan secara mutlak, yang dimaksud adalah setiap orang yang meneladani para sahabat walaupun di masa kini…’.”
Ucapan para ulama semuanya demikian. Jadi, lafadz ini adalah penisbatan yang tidak memiliki tanda/atribut yang keluar dari kandungan al- Kitab dan as-Sunnah. Selain itu, lafadz ini adalah penisbatan yang sekejap pun tidak akan terpisah dari generasi awal. Bahkan, lafadz ini dari mereka dan kembali kepada mereka….”
Sementara itu, kata السلفية adalah nisbat kepada سلف. Maknanya adalah mengikuti thariqah (jalan yang ditempuh) oleh salaf ash-shalih dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in dalam beragama secara lahir dan batin, yaitu berpegang teguh dengan kitab dan sunnah. (Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab as-Salafiyah hlm. 195 dengan penambahan dan perubahan)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan, “Salafiyah adalah berjalan di atas manhaj salaf dari kalangan sahabat, tabi’in, serta generasi-generasi yang utama dalam hal akidah, pemahaman, dan suluk. Setiap muslim wajib menempuh manhaj ini.…” (al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 103—104)
Adapun “mazhab salaf“ dijelaskan maknanya oleh al-Imam as-Safarini rahimahullah, “Yang dimaksud mazhab salaf adalah apa yang ada di atasnya para sahabat yang mulia radhiallahu ‘anhum, tokoh-tokoh tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, para pengikut mereka, dan para imam agama (ulama) yang dipersaksikan keimamannya, dikenali keagungan martabat mereka dalam agama, diakui oleh generasi setelahnya, bukan orang yang tertuduh dengan suatu (paham) bid’ah atau masyhur dengan gelar yang tidak diridhai, semisal Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji’ah, Jabriyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, Karramiyah, dan yang semisalnya.” (Lawami’ul Anwar 1/20)
Asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri menjelaskan tentang manhaj salaf, “Mengikuti (ittiba’) semua yang datang dari Allah ‘azza wa jalla dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang teguh dengannya secara ucapan dan amalan. Inilah manhaj salafi dan thariqah salafi, metode yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Ushul wa Qawaid fil Manhaj as-Salafi hlm. 7)
Dakwah salafiyah adalah dakwah Islam yang sahih, yang dibangun di atas dasar al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih.
Al-Muhaddits al-‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menjelaskan, “Prinsip-prinsip dakwah salafiyah, seperti yang telah diketahui oleh semua pihak, berdiri di atas tiga tonggak:
Al-Qur’anul Karim
As-Sunnah yang sahihah.
Salafiyun di seluruh dunia fokus pada sisi ini, yaitu sunnah yang sahihah. Sebab, dengan kesepakatan ulama, sunnah telah disisipi sesuatu yang bukan darinya sejak sepuluh abad silam….
Inilah yang membedakan dakwah salafiyah dengan dakwah-dakwah yang lain yang ada di permukaan bumi. Dakwah salafiyah berbeda karena tonggak ketiga ini, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah wajib dipahami dengan manhaj salaf as-shalih dari kalangan tabi’in dan para pengikut mereka, yakni tiga generasi yang dipersaksikan kebaikannya oleh hadits yang banyak dan ma’ruf.
Poin ini yang sering kita bicarakan dalam banyak kesempatan. Telah kita sertakan pula argumentasi yang cukup sehingga kita dapat memastikan bahwa siapa saja yang ingin memahami Islam dari al-Kitab dan as-Sunnah tanpa tonggak ketiga ini, sungguh dia akan mendatangkan Islam yang baru (baca: bid’ah, –pen.)….” (As’ilah Haula ad-Da’wah as-Salafiyah hlm. 22)
Salafiyyun, bentuk jamak dari kalimat سلفي (salafi), adalah setiap orang yang berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih.
Dalam Fatawa Lajnah Daimah (2/243 soal ke-2 dari fatwa no. 1361) disebutkan, “Salafiyun adalah bentuk jamak dari salafi, nisbat kepada salaf yang telah berlalu penjelasan maknanya. Mereka adalah orang-orang yang berjalan di atas manhaj salaf, yaitu mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah, mendakwahkan dan mengamalkannya. Dengan demikian, mereka pun menjadi Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
Samahatul ‘Allamah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Sesungguhnya salaf adalah orang-orang yang ada pada generasi-generasi utama. Siapa saja yang meniti langkah mereka dan berjalan di atas manhaj mereka, dia adalah salafi. Siapa saja yang menyelisihi mereka pada prinsip tersebut, dia termasuk khalaf.” (Ta’liq asy-Syaikh Hamud at-Tuwaijiri atas al-Aqidah Hamawiyah hlm. 203)
Ahli hadits negeri Yaman, asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah, menyatakan, “Yang terpenting adalah terealisasinya nama yang mulia ini pada orang yang menisbatkan diri kepadanya. Jadi, dia tidak boleh menjadi seorang pengikut demokrasi, Sufi, atau Syi’ah. Sebab, salafi dan sunni, dua nama yang sama, disematkan pada setiap orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas pemahaman salafus shalih. Atas dasar itu, kedua nama di atas tidak bisa disematkan pada hizbiyin atau ahli bid’ah.
“Bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli kitab barang siapa yang mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi balasan dengan kejahatan itu.” (an-Nisa: 123) (Muqaddimah Irsyadul Bariyah hlm. 78)
Salafiyyun juga dikenal dengan sejumlah nama, semuanya kembali kepada satu manhaj.
Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Dinamakan Ahlus Sunnah karena mereka mengamalkan sunnah dan teguh menetapi sunnah. Disebut ahlul jamaah karena mereka bersatu, tidak berpecah belah. Manhaj mereka satu, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka bersatu di atas al-haq dan pada satu pemimpin. Demikian uraian asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah. (al-Ajwibah al-Mufidah, hlm. 127)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan definisi Ahlus Sunnah, “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan kitabullah, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan apa yang disepakati oleh generasi pertama (umat ini) dari kalangan Muhajirin dan Anshar; serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” (Majmu’ Fatawa 3/375)
Al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat).
Nama ini diambil dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala memberitakan perpecahan yang terjadi pada umatnya. Beliau menyebutkan bahwa yang selamat hanya satu. Maka dari itu, golongan ini dikenal dengan sebutan al-Firqah an-Najiyah (kelompok yang selamat). Najiyah (selamat) maknanya selamat di dunia dari beragam bid’ah dan selamat di akhirat dari api neraka. Demikian penjelasan asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarah ‘Aqidah al-Wasithiyah (hlm. 31 cet. Maktabah Thabariyah).
Dalam beberapa riwayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kriteria al-Firqah an- Najiyah, di antaranya:
Al-Jamaah, dari hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma riwayat Abu Dawud dll. Lihat Silsilah Shahihah 204.
Apa-apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berada di atasnya. Ini diambil dari hadits Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma riwayat at-Tirmidzi (no. 2650) dll. Lihat Shahihul Jami’ 5343.
As-Sawad al-A’zham (jumlah mayoritas pada masa nabi). Ini diambil dari hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dll, riwayat al-Ajurri dalam asy- Syariah 29. Lihat Silsilah Shahihah pada penjelasan hadits no. 204.
Semua lafadz di atas maknanya satu, demikian penjelasan al-Imam al-Ajurri rahimahullah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan, “Apabila sifat al-Firqah an-Najiyah adalah mengikuti para sahabat di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu adalah syiar Ahlus Sunnah, berarti al-Firqah an-Najiyah adalah Ahlus Sunnah.” (Minhajus Sunnah 3/457)
Dalam Majmu’ Fatawa (3/345) beliau mengatakan, “Oleh sebab itu, (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) menyebut al-Firqah an-Najiyah sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah dan merekalah al-Jumhur al-Akbar dan as-Sawadul A’zham.”
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang al-firqah an-najiyah, dan beliau menjawab, “Mereka adalah salafiyun dan setiap orang yang berjalan di atas metode salafus shalih, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.” (al-Firqah an-Najiyah, Muhammad Jamil Zainu)
Ath-Thaifah al-Manshurah (kelompok yang ditolong).
Nama ini juga diambil dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي مَنْصُورِينَ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّىتَقُومَ السَّاعَةُ.
“Akan senantiasa ada suatu kelompok dari umatku yang ditolong. Tidak membahayakan mereka orang yang merendahkan mereka, hingga (menjelang) bangkit kiamat.” (HR. Ahmad 4/436, dll., dari Qurrah bin Iyas al-Muzani radhiallahu ‘anhu. Lihat Silsilah Shahihah no. 403)
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Apabila mereka bukan ahlul hadits, aku tidak tahu siapa mereka?!”
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud oleh (al-Imam) Ahmad adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan yang meyakini akidah ahli hadits.” (Syarah Muslim lin-Nawawi 13/66—67)
Termasuk pemahaman aneh yang dimunculkan oleh Salman al-Audah—salah satu gembong Sururiyah—adalah membedakan antara al-Firqah an-Najiyah dan ath-Thaifah al-Manshurah, lantas memasukkan sekte-sekte tak dikenal ke dalam barisan al-Firqah an-Najiyah sekaligus menyifati ahlul hadits dengan kriteria-kriteria yang mengeluarkan mereka dari al-Firqah an-Najiyah.
Pemahaman aneh ini—bihamdillah wa ‘inayatih— telah diuraikan penyimpangannya oleh pembawa bendera al-jarh wat ta’dil masa ini, al-‘Allamah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali. Beliau bawakan penjelasan 45 ulama terdahulu hingga sekarang yang menyatakan tidak ada perbedaan antara al-Firqah an-Najiyah dan ath-Thaifah al-Manshurah. Semuanya satu, yaitu ahli hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, salafiyun. Lihat kitab beliau Ahlul Hadits Hum ath-Thaifah al-Manshurah an-Najiyah Hiwar Ma’a Salman al-Audah.
Fadhilatus Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah pernah ditanya tentang seseorang yang membedakan antara al-Firqah an-Najiyah dan ath-Thaifah al-Manshurah. Beliau menjawab, “Pernyataan ini tidak benar, ath-Thaifah al-Manshurah adalah al-Firqah an-Najiyah—walillahil hamd. Tidak akan ditolong (manshurah) kecuali apabila dia selamat (najiyah). Sebaliknya, tidak mungkin selamat (najiyah) kecuali apabila dia ditolong (manshurah). Kedua sifat ini saling berkaitan untuk sesuatu yang sama. Pembedaan ini bisa jadi dari seorang yang jahil (bodoh) atau dari seorang yang punya tujuan jelek, yaitu membuat para pemuda muslim ragu tentang ath-Thaifah al-Manshurah an-Najiyah.” (Ajwibah Mufidah hlm. 73—74)
Perlu dipahami, pada dasarnya kaum muslimin yang di atas as-Sunnah tidak mempunyai nama dan gelar khusus selain muslimin, mukminin, dan hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla. Tanda pengenal mereka hanyalah Islam dan sunnah. Tidak ada atribut lain yang keluar dari kandungan Islam dan sunnah.
Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (4/130) meriwayatkan sebuah hadits yang panjang dari al-Harits al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, di dalamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَادْعُوا الْمُسْلِمِينَ بِأَسْمَائِهِمْ سَمَّاهُمُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Maka panggillah kaum muslimin dengan nama-nama mereka, nama yang Allah ‘azza wa jalla berikan kepada mereka: al-Muslimun, al-Mukminun, hamba-hamba Allah.”
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini.” (al-Hajj: 78)
Al-Imam Malik rahimahullah menyatakan, “Ahlus Sunnah tidak memiliki gelar (khusus) yang mereka dikenal dengannya, bukan Jahmiyah, bukan pula Qadariyah atau Rafidhah.” (Tartibul Madarik al-Qadhi ‘Iyadh 172/1)
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah orang yang berjalan di atas manhaj nubuwah. Sekejap pun mereka tidak pernah terlepas darinya, baik dengan nama maupun simbol tertentu. Mereka tidak memiliki seseorang untuk menisbatkan diri kepadanya selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang meniti jejak beliau.
Mereka juga tidak mempunyai simbol dan manhaj selain manhaj nubuwah (al-Kitab dan as-Sunnah),” ujar asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam Hukmul Intima (hlm. 28).
Bahkan, para ulama mengecam siapa saja yang terikat dengan nama-nama selain Islam dan sunnah atau dengan seseorang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma pernah berkata,
“Mu’awiyah berkata kapadaku, apakah engkau di atas millah (agama) ‘Ali?” Aku jawab, “Tidak, tidak pula di atas millah Utsman. Aku di atas millah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Ibanah al-Kubra, Ibnu Baththah 1/355)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma juga berkata, “Barang siapa berikrar dengan salah satu nama dari nama-nama yang baru (baca: bid’ah, pen.) ini, sungguh dia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya.” (al-Ibanah as-Shughra hlm. 137, Ibnu Baththah)
Malik bin Mighwal rahimahullah menyatakan, “Apabila ada seseorang yang bernama dengan selain Islam dan sunnah, gabungkanlah ia dengan agama apa pun yang engkau kehendaki.” (al-Ibanah as-Shughra hlm. 137, Ibnu Batthah)
Nama Ahlus Sunnah wal Jamaah, ahlul hadits, ahlul atsar, salafi/salafiyun, al-Firqah an-Najiyah, dan ath-Thaifah al-Manshurah dimunculkan oleh para ulama kita dengan menimbang beberapa hal.
Munculnya ragam sekte sesat dalam kubu umat Islam yang semuanya mengaku sebagai muslimin dan mendakwahkan Islam.
Terjadinya pengaburan tentang hakikat Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tumbuh suburnya aneka paham menyimpang berwajah Islam.
Upaya kelompok sesat tersebut untuk meruntuhkan pilar-pilar akidah Islam dan menebarkan opini di tengah kaum muslimin bahwa apa yang mereka dakwahkan adalah haq.
Nama-nama syar’i di atas dimunculkan dan disebarluaskan oleh para ulama dahulu hingga sekarang dengan tujuan:
Menjelaskan kepada umat Islam hakikat Islam yang sahih sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang senantiasa istiqamah meniti jejak langkah beliau.
Membedakan diri dari ragam kelompok sesat dengan aneka nama dan atribut yang mereka miliki sehingga umat Islam tahu siapa ahlul haq dan siapa pula ahlul batil.
Gelar-gelar yang mulia ini berbeda dengan gelar apa pun yang ada pada kelompok manapun dari beberapa sisi:
Gelar-gelar tersebut adalah penisbatan yang tidak terpisah—sekejap pun—dari umat Islam semenjak terbentuk di atas manhaj nubuwah. Gelar-gelar ini meliputi seluruh kaum muslimin di atas jalan generasi pertama dan yang mengikuti mereka dalam hal menerima ilmu, cara memahaminya, dan mendakwahkannya.
Gelar-gelar tersebut mencakup Islam secara keseluruhan: al-Kitab dan as-Sunnah, tidak khusus untuk sebuah metode yang bertentangan dengan kitab dan sunnah baik secara penambahan maupun pengurangan.
Gelar-gelar tersebut di antaranya ada yang ditetapkan dengan sunnah shahihah, ada pula yang tidak ditampilkan kecuali untuk menghadapi manhaj ahlul bid’ah dan sekte-sekte sesat dalam rangka membantah bid’ah mereka, membedakan diri dari mereka, tidak tercampur dengan mereka, dan memutuskan hubungan dengan mereka.
Tatkala muncul bid’ah, mereka (Ahlus Sunnah) membedakan diri dengan sunnah. Tatkala ra’yu (akal) dijadikan hakim, mereka membedakan diri dengan hadits dan atsar.
Ikatan wala dan bara, cinta dan benci di kalangan mereka (Ahlus sunnah) adalah di atas Islam, bukan yang lain. Tidak di atas sebuah simbol tertentu, tidak pula di atas simbol terbatas. Yang ada hanya al-Kitab dan sunnah.
Gelar-gelar tersebut tidak mengundang mereka untuk fanatik kepada seseorang tertentu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Gelar-gelar tersebut tidak menjerumuskan kepada bid’ah, maksiat, atau pun fanatik kepada orang atau sekte tertentu.
Tatkala dikatakan “Ahlus Sunnah wal Jamaah” gelar ini akan mengandung/ merangkum semua keistimewaan di atas.
Demikian penjelasan panjang dari asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam Hukmul Intima (hlm. 41—45).
Adapun gelar dan nama yang ada pada sekte-sekte sesat, ada beberapa sebab, di antaranya:
Penisbatan kepada tokoh pencetus bid’ah[2] tersebut seperti:
Jahmiyah, nisbat kepada Jahm bin Shafwan.
Zaidiyah, nisbat kepada Zaid bin ‘Ali bin Husain.
Asy’ariyyah, nisbat kepada Abul Hasan al-Asy’ari pada periode ke-2 kehidupannya.[3]
Gelar yang diambil dari asal-muasal bid’ah mereka. Contohnya:
Rafidhah, dinamakan demikian karena mereka me-rafdh (meninggalkan) Zaid bin ‘Ali atau karena merafdh( menolak) kepemimpinan Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma.
Qadariyyah, dinamakan demikian karena mereka berbicara tentang takdir dan mengingkarinya.
Murji’ah, karena mereka mengirja (menangguhkan/mengeluarkan) amalan dari iman.
Disebabkan karena mereka keluar dari prinsip akidah Islam atau keluar dari ulama Islam. Contohnya:
Khawarij, karena mereka khuruj (memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan penguasa-penguasa setelah beliau) dan karena khuruj dari prinsip akidah Islam, yaitu mendengar dan menaati penguasa muslim.
Mu’tazilah, karena tokoh mereka, Wasil bin ‘Atha i’tizal (meninggalkan) majelis al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah.
Walhasil, dari penjabaran panjang ini kita dapat memetik satu kesimpulan penting, yaitu salafiyah dan dakwah salafiyah bukanlah agama baru. Ia bukan pula mazhab ke-5 seperti yang dinyatakan oleh sebagian pihak. Ia bukan sekte sesat sebagaimana kelompok-kelompok sesat lainnya, bukan pula ajaran dan pemahaman baru yang dimunculkan oleh al-Imam Ahmad, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, atau Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi rahimahullah seperti yang diopinikan oleh Gerakan Anti Wahabiyah (GAW).
Salafiyah adalah Islam itu sendiri. Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salaf as-shalih yang dahulu diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau amalkan beserta para sahabatnya.
Al-‘Allamah Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah pernah dengan tegas menyatakan,
مُؤَسِّسُ الدَّعْوَةِ السَّلَفِيَّةِ هُوَ رَسُولُ اللهِ
“Perintis dakwah salafiyah adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Burkan li Nasfi Jami’atil Iman, hlm. 36)
Tentu saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merintis dakwah yang mulia ini dengan wahyu dari Allah ‘azza wa jalla. Beliau pula yang menyampaikan dan menjalankannya.
“Salafiyah itu datangnya dari Allah ‘azza wa jalla, para nabi, dan rasul yang menyampaikan dari Allah ‘azza wa jalla syariat yang dikehendaki-Nya. Begitu pula para da’i kebenaran setelah mereka, menyampaikan sesuai dengan syariat ini….” (Ushul wa Qawaid fi Manhaj as-Salafi hlm. 6)
Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad ad-Dailami al-Madani rahimahullah, salah seorang ulama India, menyatakan, “Sesungguhnya telah tetap dengan dalil-dalil yang pasti, jelas, dan gamblang, bahwa ahli hadits adalah kelompok yang sudah lama ada sejak zaman kenabian. Generasi pertama mereka adalah para sahabat.…” Kemudian beliau menyebutkan sepuluh bukti dalam kitabnya, Tarikh Ahlil Hadits (hlm. 22—56).
Setelah ini semua, apakah ada seseorang yang ragu atau tidak berani menisbatkan diri kepada salafiyah?! Tentu saja bukan pengakuan semata, melainkan harus disertai dengan pembuktian.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak ada aib atas seseorang yang menampilkan mazhab salaf dan menisbatkan diri kepadanya. Bahkan, hal itu wajib diterima menurut kesepakatan (ulama). Sebab, mazhab salaf tidak lain kecuali kebenaran.” (Majmu’ Fatawa 4/149)
Asy-Syaikh al-‘Allamah Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang seseorang yang bernama dengan salafi dan atsari, apakah termasuk tazkiyah?”
Beliau menjawab, “Apabila dia jujur (benar) sebagai atsari atau salafi, tidak mengapa. Sebagaimana halnya dahulu salaf mengatakan, ‘Fulan salafi, Fulan atsari.’ Ini adalah tazkiyah yang harus, tazkiyah yang wajib!” (Ceramah dengan tema “Hak Muslim” di Thaif, lihat catatan kaki Ajwibah Mufidah hlm. 17)
“Wahai para pemuda Islam (secara khusus) dan kaum muslimin (secara umum)! Sungguh, jangan sampai ada rasa berat di hati Anda semua untuk menisbatkan diri kepada salafiyah. Angkatlah kepala kalian dengan (salafiyah) ini! Suarakan kebenaran dengannya! Jangan Anda merasa kecil hati karena celaan orang (ketika memperjuangkannya)!” ujar asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri dalam kitabnya, Ushul Wa Qawaid fi Manhaj as-Salafi (hlm. 8).
Wallahul Muwaffiq.
[1] Adapun dengan lafadz خير الناس datang dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dalam riwayat al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533/212).
[2] Atau yang mereka tokohkan, meski tokoh tersebut berlepas diri dari paham tersebut atau telah rujuk kepada kebenaran.
[3] Semisal Sururiyah, nisbat kepada Muhammad Surur bin Nayif Zaenal Abidin; atau Haddadiyah, nisbat kepada Abu Abdillah Mahmud al-Haddad al-Mishri.
Sumber : asysyariah.com
Komentar
Posting Komentar
Perhatian! Harap berkomentar dengan tutur kata yg baik dan sopan. Baarakallaahu fiikum.